Selama lima tahun terakhir, kondisi iptek nasional bergerak melambat dan dapat dikatakan stagnasi. Kondisi ini dapat dilihat dari Ekonomi dan Intensitas Teknologi, Belanja Litbang Nasional, Sumber Daya Manusia Iptek dan Luaran Iptek. Kondisi ini terpapar dalam Buku Saku Indikator Iptek Indonesia 2014. Buku ini diluncurkan lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bersama dengan Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi, pada Rabu, 3 Desember 2014.
Buku Saku Indikator Iptek Indonesia 2014 merupakan buku yang berisi data dan informasi Iptek yang diperlukan untuk menggambarkan kondisi iptek saat ini, sehingga para pengambil keputusan mengetahui dan memahami berbagai kondisi iptek agar kebijakan iptek untuk pembangunan menjadi lebih terarah.
Iskandar Zulkarnaen, Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengatakan bahwa ada hal menarik terkait dengan kondisi iptek nasional lima tahun terakhir. “Iptek nasional Indonesia bergerak melambat dan dapat dikatakan stagnasi, indikator hal ini dapat dilihat dari Peningkatan Rasio belanja Litbang Nasional (GERD) terhadap PDB di tahun 2013 hanya 0,01 dari tahun sebelumnya. Saat ini nilai rasio (GERD) Indonesia 0,09%. Nilai ini masih sangat kecil bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya sepeti Malaysia 1% (2012), Thailand 0,25% (2012), atau bahkan Singapura (2,1%), “ ungkap Iskandar.
Kepala Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Pappiptek) LIPI, Trina Fizzanty menambahkan bahwa berdasarkan data ekspor industri manufaktur Indonesia, kontribusi ekspor manufaktur terhadap total ekspor hanya 55,5% di tahun 2011, mengalami penurunan dibandingkan tahun 2006 (63,2%). Angka ini sangat kecil jika dibandingkan negara lain yang memiliki kontribusi ekspor manufaktur terhadap total ekspornya mencapai di atas 80% seperti Malaysia (81,18%), Singapura (89,76%), Korea (96,74%), dan China (96,17%). Khusus manufaktur dengan intensitas teknologi tinggi dan menengah seperti industri farmasi, kendaraan bermotor, elektronik, dll., Indonesia hanya memiliki kontribusi sebesar 28,92% terhadap total ekspor bandingkan dengan Malaysia yang telah memiliki kontribusi sebesar 59,11%, Singapura 68,99%, China 58,96% dan Korea 71,85%.
Sementara itu, Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi, M. Nasir, menyoroti masih rendahnya rasio peneliti per 10.000 angkatan kerja di tahun 2012 adalah 7,25, walaupun angka ini meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 2009 (3,60). Angka ini masih jauh dibandingkan dengan Malaysia 16,43 atau Singapura 64,38. Bahkan Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi melihat sektor perguruan tinggi memiliki rata-rata belanja litbang per peneliti terendah dibandingkan dengan sektor pemerintah dan swasta. Satu peneliti di perguruan tinggi hanya mendapat sekitar Rp 87.833.580/tahun. Keadaan ini mengindikasikan bahwa peningkatan dana pendidikan (20% dari APBN) belum memprioritaskan pada kegiatan penelitian dan pengembangan.
“Oleh karena itu saya akan mendorong pihak-pihak swasta baik di BUMN maupun di BKPM, nanti akan Saya kumpulkan dan Saya diskusikan untuk mendorong riset di Indonesia agar bisa meningkat dari segi alokasi anggarannya maupun output hasil riset tersebut. Kami akan menentukan pada semua perguruan tinggi antara 10-15% itu harus dialokasikan pada riset,” ujar Menristekdikti. (munawir)