Teknologi belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan ketahanan pangan di Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan dari menurunnya Total Factor Productivity (TFP) Indonesia untuk tanaman pangan pada periode tahun 1981-2001 dibandingkan dengan periode dua puluh tahun sebelumnya. Untuk dapat meningkatkan kontribusi teknologi ketahanan pangan, maka teknologi tersebut harus diadopsi dalam proses produksi pangan. Teknologi yang diadopsi tersebut harus pula selaras dengan kebutuhan dan persoalan nyata serta sepadan dengan kapasitas teknis, ekonomis dan sosio kultural para calon penggunanya.
Hal tersebut dikemukakan Ketua Dewan Riset Nasional (DRN), Andrianto Handojo saat membuka Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Strategi Peningkatan Adopsi Teknologi Pangan” di Ruang Komisi I dan II, Gedung BPPT pada Kamis, 19 Agustus 2010. Kegiatan tersebut bertujuan untuk merumuskan langkah-langkah strategis untuk adopsi teknologi pangan dalam negeri ditinjau dari sisi pengguna teknologi, penyedia teknologi maupun dari aspek intgrasi antara penyedia dan pengguna teknologi sehingga dapat mendorong peningkatan kontribusi teknologi terhadap ketahanan pangan nasional pada khususnya dan pembangunan perekonomian pada umumnya.
Andrianto menambahkan, hasil-hasil litbang pertanian dan pangan yang banyak ternyata tidak serta-merta meningkatkan produktivitas pertanian dan pendapatan serta kesejahteraan petani. Diakui, proses pemanfaatan hasil riset memerlukan tahap-tahap pengenalan dan adopsi yang tidak sederhana. “Begitu banyak varietas padi yang dihasilkan oleh lembaga litbang, namun hanya beberapa saja yang sukses diadopsi dan dimanfaatkan oleh petani. Melihat kenyataaan seperti ini, tentu perlu dilakukan penelaahan secara lebih mendalam tentang faktor-faktor dan kondisi-kondisi yang menghalangi pemanfaatan hasil-hasil litbang pertanian dan pangan oleh pengguna,” Ujar Andrianto
Sementara itu Roedhy Poerwanto, Wakil Ketua Komtek Ketahanan Pangan DRN, dalam laporannya mengungkapkan bahwa hasil penelitian di bidang pertanian dan ketahanan pangan jumlahnya sangat besar. Untuk Program Insentif Riset yang dikelola Kementerian Riset dan Teknologi, jumlah proposal penelitian dalam bidang ketahanan merupakan yang terbesar dibandingkan bidang fokus yang lainnya. Begitu pula dengan dana insentif riset yang dikelola Kementerian Pendidikan dan Kementerian Pertanian menunjukkan kondisi yang sama. Hasil riset yang banyak tersebut meliputi varietas baru dan unggul, teknik budidaya, hingga pengelolaan pasca panen. Namun di sisi lain, sejak beberapa dekade yang lalu tidak tampak perubahan yang signifikan dalam cara petani bercocok tanam. Hal ini disebabkan adanya gap antara hasil penelitian yang telah menjadi teknologi atau varietas dengan apa yang digunakan dan dimanfaatkan secara langsung oleh petani. “Di forum ini, kita bersama-sama akan mengidentifikasi hal-hal yang menyebabkan rendahnya adopsi teknologi di bidang ketahanan pangan untuk kita cari solusinya bersama-sama pula. Agar ke depan, riset-riset yang ada memang betul-betul dibutuhkan oleh para petani kita yang bisa memacu produksi pangan, dan mensejahterahkan masyarakat.” Ujar Roedhy.
Acara tersebut menampilkan pembicara, Rachmat Pambudi, Wakil Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia; Maulana W. Jumantara, GM Manufacturing Food PT. Unilever Indonesia; dan Anang Lastriyanto, Pengajar pada Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya. Acara dipandu oleh I Wayan Budiastra, Asisten Deputi Kompetensi Kelembagaan, Kementerian Ristek.
Turut hadir dalam acara tersebut, Ketua Badan Standardisasi Nasional yang juga anggota Komtek Pertanian DRN, Bambang Setiadi; Deputi Bidang Relevansi dan Produktivitas, Teguh Rahardjo; Deputi Bidang Jaringan Iptek, Syamsa Ardisasmita; Deputi Bidang Pendayagunaan Iptek, Idwan Suhardi; Staf Ahli Menristek bidang Ketahanan Pangan dan Pertanian, Masrizal dan Staf Ahli Menteri Bidang Kesehatan dan Obat, Amin Subandrio. (munawir)